Dia yang Membuatku Iri
Dua hari yang lalu saya dapet link artikel dari grup whatsapp MA Superb Mother. Awalnya saya kurang tertarik untuk membacanya. Tapi karena judulnya yang aneh dan membuat penasaran, akhirnya saya buka dan baca.
Ternyata artikel yang di-share isinya sangat sangat bagus! Tulisan itu berisi tentang kekaguman seorang suami pada istrinya. Tentang rasa syukur karena memiliki istri yang shalihah dan juga rasa kangen karena istrinya sudah meninggal.
Sosok yang diceritakan itulah yang membuat saya iri.
Ternyata artikel yang di-share isinya sangat sangat bagus! Tulisan itu berisi tentang kekaguman seorang suami pada istrinya. Tentang rasa syukur karena memiliki istri yang shalihah dan juga rasa kangen karena istrinya sudah meninggal.
Sosok yang diceritakan itulah yang membuat saya iri.
Selamat Jalan Isteriku, Engkau Layak Atas Karunia Syahid itu…
17 tahun yang lalu, saat masih aktif menjadi penulis buletin dakwah, aku membaca nama pelanggan yang memesan buletin tersebut. Hj. Robiatul Adawiyah, pasti wanita yang sudah tua. Sudah naik haji dan namanya jadul sekali.
“Akhi, seperti apa sih ibu Robiatul ini,”
tanyaku kepada Pak Marjani yang bertugas mengantar buletin. ”Ndak tahu,
nggak pernah ketemu, yang saya tahu dia pesan buletin itu untuk dikirim
via bis ke Kotabangun”.
Wah wanita yang mulia,
mau menyisihkan uang untuk berdakwah kepada masyarakat di hulu sungai
Mahakam. Tak lama kemudian setelah kita menikah, Buletin Ad Dakwah dari
Yayasan Al Ishlah Samarinda diantar ke rumah. Ternyata wanita mulia
tersebut adalah engkau istriku, bukan wanita tua seperti yang kukira.
Melainkan mahasiswi yang aktif mengajar di Taman Al Quran.
Istriku,
beruntung aku dapat memilikimu. Sudah beberapa pemuda kaya yang mencoba
mendekatimu tetapi selalu kau tolak. Kelembutanmu dan kedudukanmu
sebagai putri seorang ulama besar menjadi magnet bagi para pria yang
ingin memiliki istri sholehah. Kamu beralasan belum ingin menikah karena
mau konsentrasi kuliah. Padahal alasan utamanya adalah kamu masih ragu
dengan kesholehan mereka. Ketika Ustadzah Purwinahyu merekomendasikan
diriku, tanpa banyak tanya kau langsung menerimaku. Hanya karena aku
aktif ikut pengajian kau mau menerimaku, tanpa peduli berapa
penghasilanku.
Istriku,
semua orang mengakui bahwa kau wanita yang tangguh. Jarang seorang
wanita bercita-cita memiliki delapan anak sepertimu. Melihatmu seperti
melihat wanita Palestina yang berada di Indonesia. Jika bertemu dengan
Ustadz Hadi Mulyadi, suami mba Erni ustadzahmu, pasti pertanyaan pertama
kepadaku adalah, “Berapa sekarang anakmu?”. Sering orang bertanya
kepadaku, “Gimana caranya ngurus anak sebanyak itu?” Mudah, rahasianya
adalah menikahi wanita yang tangguh sepertimu.
Kehangatanmu membuat
anak-anak kita merasa nyaman di dekatmu. Di saat kau lelah sepulang dari
mengisi halaqoh atau ta’lim mereka segera menyambutmu dan melepaskan
kekangenan mereka. Kadang lucu melihat mereka membuntuti kemana kamu
pergi. Kamu ke dapur mereka bergerombol di sekitarmu, pindah ke ruang
tamu, pindah pula mereka ke ruang tamu. Masuk ke kamar,
berbondong-bondong mereka ke kamar. Sampai ada anak yang selalu
memegang-megang bajumu dan kamu berkomentar,” Nih anak kayak prangko
aja, nempeeel terus.” Jangan salahkan mereka, akupun memiliki perasaan yang sama dengan mereka.
Kadang jika cintaku
meluap aku berkata padamu, ”Bener nih kamu ndak nyantet aku? Aku kok
bisa tergila-gila begini sama kamu?” Kamu tersenyum dan berkata, “cinta
Umi ke Abi lebih besar dari cinta Abi ke Umi, Abi aja yang ndak tahu.”
Rasulullah bersabda, “Nikahilah perempuan yang penyayang dan dapat
mempunyai anak banyak karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan
sebab banyaknya kamu dihadapan para Nabi nanti pada hari kiamat” (HR.
Ahmad). Sungguh aku merasa telah mendapatkan segalanya dengan kau di
sisiku.
Kepribadianmu yang
mudah bergaul menjadikanmu disenangi oleh banyak orang. Kamal berkata,
“Umi terkenal banget di sekolah. Aku, Mba Aisyah, Mas Nashih, Hamidah,
Hilma ini terkenal di sekolah karena anak Umi. Guru-guru kenal kami
karena kami anak umi.” Aku ingat perjuanganmu menggalang beberapa orang
tua murid ke kantor diknas untuk meminta tambahan kelas agar anak kita
yang terlalu muda bisa diterima sekolah. Akhirnya SDN 006 Balikpapan
mendapat tambahan kelas dan anak kita bisa bersekolah di sana.
Seharusnya aku yang melakukan hal itu, bukan kamu.
Aku terpesona dengan
caramu menjalin silaturahim dengan keluarga besarmu. Ketika kita pindah
ke Balikpapan, sering kakak-kakakmu menelpon menanyakan kapan liburan ke
Samarinda. Mereka rindu kepadamu. Kakakmu KH. Fachrudin, seringkali
menelpon, “Kita mau ngadain acara ini, kamu ke Samarinda kah?” Sya’rani,
kakakmu yang sering bepergian ke Jawa, ketika mendarat di Balikpapan
pun sering berkata, “Baru dari Jawa, mau ikut saya sekalian naik mobil
ke Samarinda?” Keponakan-keponakanmu pun sering bertanya, “Acil Robiah
kapan ke Samarinda?” Jika kita liburan ke Samarinda, maka kemeriahan
meledak begitu mendengar suaramu mengucapkan salam. “Wah, Haji Robiah
dari Balikpapan.”
Aku kagum dengan
semangatmu melaksanakan amanah dakwahmu. Sering kerinduanmu kepada
keluargamu tertahan karena ada amanah dakwah yang harus kamu kerjakan.
”Sebenarnya akhir pekan ini keluarga besar kumpul. Ada acara keluarga.
Tapi ada halaqoh ini dan majelis talim ini jadi ndak bisa ke Samarinda.”
Semoga Allah SWT memasukkanmu ke dalam barisan orang-orang yang
berjuang menegakkan agama ini.
Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.
Kesibukanmu berdakwah memang menyita waktumu. Tapi aku ridho karena kau tetap komitmen untuk mengurus rumah tangga dengan baik. Aku ridho ketika PKS berdiri, kamu bergabung dan berdakwah bersama mereka. Kulihat kau begitu menikmati hidupmu yang mungkin bagi pandangan sebagian orang sangat melelahkan.
Kamu juga aktif mengisi kajian Siroh Shahabiyah
di Radio IDC FM. Ketika engkau ingin berhenti karena hamil dan
mengajukan ustadzah lain, mba Irna yang mengasuh acara menolak dan
mengatakan sebaiknya cuti saja dan sementara akan diputar ulang rekaman
yang terdahulu. Saya tahu mereka pun telah jatuh cinta kepadamu.
Saat Ustadz
Cahyadi mengadakan pelatihan keluarga, beliau meminta para peserta
menulis tentang pasangannya. Aku terkejut ternyata engkau mengenaliku
dengan baik. Engkau tahu makanan yang kusukai dan kubenci, teman-teman
yang kuanggap shahabatku, karakter-karakterku, dan teman-teman
Halaqohku. Diam-diam engkau memperhatikanku. Terimakasih telah memahami
diriku.
Pernah kau mengatakan
bahwa kau ingin naik haji bersamaku. Aku mengatakan bahwa kamu sudah
naik haji sehingga tidak wajib lagi. Kalau aku punya uang aku akan
mengajak anak kita naik haji bukan kamu. Kamu berkata, “Aku akan
kumpulkan uang daganganku agar bisa naik haji bersamamu.” Kamu pernah
bercerita bahwa saking nikmatnya berada di Kota Mekah, kamu pernah
berusaha tukar kloter dengan orang lain agar bisa bertahan lebih lama di
kota Mekah.
Istriku, aku suka
dengan caramu berbakti kepadaku. Ketika ustadz Muhadi mengajakku
mendirikan SDIT Nurul Fikri Balikpapan kau pun mendukungku. Padahal kau
tahu bahwa ini akan kembali mengurangi jatah uang belanja untukmu.
Bahkan kau berkata, “Aku akan alihkan infaq-infaq yang selama ini ke
lembaga zakat ke Nurul Fikri.” Selama ini kau memang menyisihkan uang
transport dari mengisi majelis-majelis ta’lim untuk menunjang dakwahmu.
Istriku,
aku menikmati sentuhan bibirmu ke pundakku sambil memelukku di saat kita
naik motor berdua. Mungkin itu caramu menunjukkan kesetiaanmu. Aku
tersanjung dengan gayamu menunjukkan cemburumu. Aku merindukan caramu
menegurku jika engkau melihatku lalai dalam urusan agama kita. Aku
merasa bahagia saat kau memujiku. Aku merasa hebat ketika engkau
bermanja kepadaku.
Aku salut dengan
kecintaanmu terhadap ilmu. Setiap ada ta’lim yang mendatangkan ustadz
yang berkualitas kau berkata, “Harus duluan nih biar dapat duduk di
depan.” Sayang, karena begitu banyaknya anakmu terkadang kau terhambat
untuk berada di depan. Pernah kau begitu sedih karena tidak dapat
menghadiri ta’lim yang diisi DR. Samiun Jazuli. Terlintas di dalam
pikiranku, kelak aku akan membiayaimu untuk melanjutkan kuliah S2 agar
kau bahagia.
Kau juga begitu
bersemangat mengikuti tatsqif (Kajian Tsaqofah Islam) yang diadakan oleh
PKS. Ketika ada ujian tatsqif, kau berusaha mengerjakan soal-soal tanpa
berusaha menyontek. Tiba-tiba kau mendengar peserta ujian yang lain di
sebelahmu saling berbisik tentang jawaban soal yang engkau tidak bisa
mengerjakannya. Kamu pun menulis jawaban tersebut. Sepulang ke rumah
engkau begitu menyesal dan gelisah. Engkau merasa berbuat curang karena
mengerjakan soal dari mendengar percakapan orang lain. “Gimana nih Mas,
aku sudah nyontek?” tanyamu. Aku jawab sambil bercanda, “Telpon
dosennya, minta dicoret jawabanmu yang dapat dari hasil mendengar itu”.
Ternyata engkau benar-benar menelpon ustadz Fahrur agar jawaban atas
soal tersebut dicoret saja. Itu yang sering kulihat darimu, begitu takut
akan dosa-dosamu. Aku bangga padamu istriku.
Istriku,
hal yang sering membuatku bergetar adalah di saat melihat engkau sholat.
Begitu khusyuk dan menjaga adab. Tidak pernah aku melihatmu
terburu-buru di dalam sholat. Aku menikmati melihat caramu menghadap
Tuhanmu. Selelah apapun dirimu kamu selalu berusaha membaca Quran satu juz perhari.
Engkau juga tidak ingin meninggalkan dzikir harianmu. Haru rasanya
saat-saat melihatmu tertidur dengan Quran masih berada di tanganmu.
Sering aku
berangan-angan aku akan membahagiakanmu kelak saat anak-anak sudah
besar. Aku akan mengajakmu berjalan-jalan ke kota wisata. Aku akan
membelikanmu perhiasan walaupun sekedarnya. Karaktermu yang tidak pernah
meminta memang membuatku lalai memperhatikan kebutuhanmu. Bahkan motor
pun tidak pernah kubelikan. Motor butut yang kau pakai adalah motor yang
memang telah kau bawa dan kau miliki sejak masih gadis.
Aku yakin bahwa
kebersihan hatimulah yang memancarkan aura persahabatan dari wajahmu.
Banyak yang mengatakan kepadaku, ”Beliau adalah tempat saya menyampaikan
curhat.” Terkadang kau terlambat pulang dari mengisi pengajian, ketika
ku tanya kenapa terlambat, kau menjawab, “Kasihan ada yang pingin
curhat, jadi dengerin dia dulu. Semoga Allah segera kasih dia jalan
keluar.” Saya yakin mereka curhat kepadamu karena mereka merasakan
kebaikanmu.
Kamu sering memujiku,
“Suami yang pintar”. Kulihat, kamulah yang lebih pintar mengaplikasikan
teori ke dalam praktek dunia nyata. Sebenarnya aku banyak belajar
darimu. Kamu pintar sekali memulyakan orang lain. Kamu sering memberikan
sesuatu kepada tetangga-tetangga kita. Terkadang aku malu karena yang
kau berikan adalah hal-hal yang sederhana. “Malu ah ngasih ke tetangga
segitu. Nggak level buat mereka.” Ternyata sikap perhatianmu kepada
tetangga inilah yang membuat mereka mencintaimu.
Kamu mengatakan kepada
pembantu kita, “Kumpulkan teman-teman yang lain, nanti saya yang
membimbing bacaan Qurannya.” Dengan sabar kamu melatih mereka membaca
Quran. Kau pun membelikan peralatan memasak sebagai hadiah kepada mereka
yang lulus dan melanjutkan bacaan ke jilid berikutnya. Pernah kau
melihat salah seorang diantara mereka sedang berlatih mandiri di
rumahnya. Kau berkata, “Bahagianya aku Bi melihat mereka mau melatih bacaan secara mandiri.” Sampai terucap dari mulut pembantu kita, “Bu, saya ini mendapat hidayah dari tangan Ibu lho.”
Terkadang aku lupa
untuk memberikan uang belanja, ketika kutanya engkau menjawab,”Aku pakai
uang daganganku”. Kau kadang membelikanku baju sebagai hadiah ulang
tahunku. Aku memang seorang yang berprinsip minimalis, terkadang jika
ada barang yang menurutmu harus dibeli, aku mengatakan bahwa itu tidak
perlu dibeli, kita da’i tidak usah terlalu mengejar kesempurnaan.
Seperti biasa kau pun mengalah dan berkata, “Ya sudah pake uang aku
aja.”
Ketika engkau
mengalami pendarahan saat melahirkan anak kita yang ke delapan, engkau
mengalami step. Sungguh hancur hatiku melihatmu menderita. Ketika dokter
mengatakan butuh tiga kantung darah, aku segera keluar berlari menuju
PMI tanpa sempat mengambil alas kaki. Aku sangat takut kehilangmu.
Ketika diberitahu bahwa putra kita telah meninggal, aku sudah tidak
peduli lagi, “Tolong selamatkan istri saya dok.” Setelah dioperasi kau
sempat tersadar, aku tidak tega untuk mengatakan bahwa putra kita telah
meninggal. Aku tidak ingin kau tahu bahwa kandungan yang sangat kau
cintai dan sering kau elus-elus dengan penuh cinta telah mendahuluimu.
Dokter mengatakan
bahwa kondisi sangat kritis, biasanya kondisi ini berakhir dengan
kematian. Dengan kesedihan yang terus mengelayuti aku berkata, ”Umi
tidak usah ngomong apa-apa, semua abi yang urus, Umi nyebut Allah saja.”
Aku berharap seandainya Allah memanggilmu, maka ucapan terakhirmu
adalah Allah. Walau tidak ada suara yang kudengar, kulihat mulutmu
menyebut nama Allah dua kali. Saat itu aku bernazar, aku pun bertawashul
dengan segala amalku agar Allah memberikan kesempatan agar engkau masih
bisa bersamaku. Dan ternyata anak-anak kita bercerita bahwa saat itu di
rumah mereka juga bernazar agar ibu mereka selamat.
Dengan sisa harapan
yang tersisa di hatiku, aku berusaha membangkitkan semangatmu, ”Cepat
sembuh, anak-anak kita menunggumu di rumah.” Engkau mengangguk-angguk.
Ternyata Allah SWT sangat mencintaimu. Allah SWT ingin memberimu
karunia syahid. Kematianmu karena melahirkan putra kita menunjukkan
bahwa Allah ingin memberikan yang terbaik untukmu. Sebagaimana
Rasulullah mengatakan bahwa wanita yang mati karena melahirkan termasuk
orang-orang yang mati syahid.
Seorang
shahabatmu, Ustadzah Mahmudah, menelponku, “Mba Robi itu kalau saya
perhatikan sangat khusyuk kalau memimpin doa atau mengaminkan doa. Kalau
berdoa, saat kalimat wa amitha ‘ala syahaadati fii sabiilik
(matikanlah jiwa kami dalam syahid di jalan-Mu) sering saya lihat mba
Robi meneteskan air mata. Ternyata kita memang tidak boleh meremehkan
kekuatan doa.”
Pak Emil tetangga kita
berkata, ”Saya tidak pernah berinteraksi dengan almarhumah. Hanya istri
saya yang bergaul dengannya. Tapi kepergiannya membuat saya merasa
kehilangan sampai dua hari”. Mungkin dia shock karena melihat istrinya terguncang.
Ustadzah Sujarwati berkata, “Saya mengisi pengajian dekat SMPN 10, mereka bercerita bahwa almarhumah
ustadzah Robiah yang merintis majelis ta’lim ini. Mereka semua kemudian
menangis karena teringat istri sampeyan.” Banyak yang terkejut dengan
kepergianmu. Ada yang baru mendengar kematianmu, datang ke rumah untuk
kemudian menangis karena kehilanganmu.
Hari kematianmu
menjadi saksi atas kesholihanmu. Begitu banyak yang datang untuk
memberikan penghormatan kepadamu. Ustadz Muslim mengatakan,
“Sahabat-sahabatnya dari pesantren Al Amin, Madura sudah siap-siap mau
beli tiket untuk ke Balikpapan, tapi mendengar jenazah akan di bawa ke
Samarinda mereka tidak jadi datang.” Beberapa ustadz datang dari
Samarinda. Bahkan Ustadz Masykur Sarmian, Ketua DPW PKS Kaltim pun
datang dari Samarinda dan menjadi imam yang mensholatimu. Aku pun
melihat ustadz Cahyadi Takariawan, penulis buku dari Yogya, hadir di
masjid itu. Mungkin Allah sengaja mengutus orang-orang sholih tersebut
untuk mensholatimu dan menyempurnakan pahalamu. Motor-motor memenuhi
jalan masuk ke komplek kita. Seseorang dengan heran mengatakan bahwa
kemarin kepala kantor meninggal di komplek ini yang datang nggak
sebanyak ini. Ini cuma ibu rumah tangga kok banyak banget yang datang.
Sesudah
disholatkan di masjid Balikpapan, engkaupun dibawa ke Samarinda. Sampai
di masjid Ar Raudhah, Aku melihat KH. Mushlihuddin, LC Koordinator
Qiroati untuk Kalimantan hadir di sana. Kamu sering berkata bahwa kamu
sudah menganggap beliau, guru mu membaca Quran, seperti ayah sendiri.
Kecintaanmu kepada Quran membuat kamu mencintai beliau yang selalu
komitmen berjuang menegakkan Al Quran di muka bumi. Sering kamu
mengatakan bahwa kamu kangen dengan gurumu, ustadz Mushlih. Segera aku
meminta beliau untuk menjadi imam sholat jenazah untukmu.
Kakakmu, Ibu Mursyidah
berkata, ”Kepergiannya persis seperti ayahnya, KH. Abdul Wahab
Syahrani. Disholatkan dari masjid ke masjid.” Sebelum meninggal beliau
berwashiat untuk dikuburkan di Kotabangun. Karena washiat itu beliau
disholatkan di tiga masjid di tiga kota oleh murid-murid beliau. Pertama
disholatkan di Islamic Centre Samarinda, kemudian disambut oleh Bupati
Kutai Kartanegara (Beliau adalah Ketua Majelis Ulama Indonesia Kab.
Kukar) dan disholatkan di masjid agung Tenggarong, kemudian disholatkan
kembali oleh murid-murid beliau di masjid Kotabangun.
Dengan lelehan airmata
aku ikut memandikanmu, mengangkatmu, memasukanmu ke liang lahat.
Seseorang berkata, “Antum duduk saja biar yang lain saja.” Tidak, Aku
tidak mau kehilangan kesempatan ini. Aku sudah kehilangan kesempatan
membahagiakanmu di dunia. Aku sudah kehilangan kesempatan membalas
dengan baik pelayananmu kepadaku. Biarlah hari ini aku melayanimu
walaupun sekedar mengurus jasadmu.
Terimakasih
istriku, selama hidupmu kau selalu berusaha tidak merepotkanku. Ketika
aku ke bengkel untuk menambal ban, aku mengabarkan kematianmu dan
memohon doa untukmu. Tukang tambal ban, mendoakannya dan berkata, “Istri
sampeyan sering ke sini sendiri, menuntun sepeda motor untuk menambal
ban, atau kadang ganti ban motor”. Sekuat tenaga ku tahan airmataku. Aku
tahu sebenarnya itu adalah tugasku. Kubayangkan adakah wanita lain yang
mau menuntun motor ke bengkel untuk menambal ban karena tidak ingin
merepotkan suaminya.
Mungkin kamu saat ini
telah tersenyum bahagia bercanda bersama Abdullah, putra kita. Mungkin
kamu sudah bertemu dengan ayah ibumu yang sangat kamu cintai. Walaupun
aku betul-betul kehilanganmu, aku tahu bahwa karunia syahid yang Allah
SWT berikan kepadamu adalah yang terbaik untukmu.
Istriku, aku
menulis ini untuk menumpahkan rindu yang bergejolak di hatiku. Aku juga
berharap agar orang yang membacanya mau meringankan lidahnya untuk
mendoakanmu. Aku berharap tulisan ini dapat membalas jasamu kepadaku.
Sungguh betapa lambatnya hari-hari berlalu tanpamu. Ingin rasanya aku
segera masuk ke surga agar dapat bertemu kembali denganmu. Selamat jalan Khadijahku….
Almarhumah Hj. Robiatul Adawiyah dan putranya
Balikpapan, hari ke sembilan belas tanpamu di sisiku
Yang bersyukur mendapatkanmuSuamimu,
Abu Muhammad
Sumber :
Subhanallah,, menginspirasi,, ^_^
BalasHapusAlhamdulillah, terimakasih sudah mampir :)
Hapus